Pembicara Seminar Adex tanggal 26 Februari 2007, Ahmad Noor Arif adalah Direktur Dagadu Jogja yang bermarkas di Jl. Pakuningratan. Tentu banyak yang bisa kita pelajari dari sosok yang bergelut di dunia kreativitas lewat karya desain di t-shirt dan pernak perniknya. Berikut profil yang kami kutip dari kabare.jogja.com :
“Halo, selamat hari Senin… .” Suara itulah yang akan kita dengar ketika menghubungi nomor Dagadu Djokdja. Sapaan khas itu pula yang antara lain membuat mereka bisa bertahan di tengah kepungan produk fashion luar.
“Halo, selamat hari Senin… .” Suara itulah yang akan kita dengar ketika menghubungi nomor Dagadu Djokdja. Sapaan khas itu pula yang antara lain membuat mereka bisa bertahan di tengah kepungan produk fashion luar.
Awal tahun 1990-an sejumlah anak muda yang masih berstatus mahasiswa risau dan gelisah dengan pengembaraan karya kreatifnya selama ini. Proses karya kreatifnya cenderung belum bisa mendapatkan tempat di masyarakat. Apalagi mereka menginginkan satu tempat di mana karya-karya tersebut diakui oleh banyak orang dan bermanfaat.
Lalu angin segar datang ketika ada “bocoran” dari Pak Wondo Amiseno tentang akan dibangunnya mal (waktu itu menjadi satu-satunya di Jogja) yang tidak sekadar untuk konter-konter toko, tetapi juga berkonsep pedagang kaki lima. Sedikit bocoran tadi menggoda sekaligus menjawab kerisauan anak-anak muda tadi. Mereka lalu bersepakat menjadikan karya-karya mereka bagian dari konsep mal tersebut.
Soal kaos oblong yang dipilih, sesungguhnya sejak awal tidak dimaksudkan seperti itu. Hanya saja, kaos menjadi salah satu dari produk khas cinderamata mereka. “Karena kami sudah terbiasa dengan produk-produk pariwisata, salah satunya kaos dan pernik-pernik lainnya,” tutur Ahmad Noor Arif, Direktur PT. Aseli Dagadu Djokdja. Uniknya, nama dagadu malah belum pernah muncul sampai mereka punya wadah di mal tersebut.
Langkah yang ditempuh mereka bisa jadi cepat dan membawa fenomena baru berupa bisnis yang revolutif. “Padahal waktu itu, kami yang sebagian besar mahasiswa teknik arsitektur kurang begitu paham dengan jalur bisnis, he..he..he.. ,” tukasnya.
Namun tekad mereka yang ingin membuat sesuatu yang bermakna khas bagi kotanya lebih kuat dibanding mengurusi teknis bisnis. Kini, nahkoda perusahaan yang produksinya penuh gurauan ini dikendalikan dari kantor pusatnya di kawasan Jalan Pakuningratan. Meski produknya mengundang senyum dan mengajak bercanda, anak-anak Dagadu ternyata mengembangkan usahanya dengan serius.
Waktu yang kemudian mengasah mereka harus mempunyai sistem manajemen yang baik untuk perkembangan perusahaan selanjutnya. Kurun waktu 1994 sampai awal tahun 2000 merupakan masa keemasan Dagadu. Setidaknya, tahun-tahun tersebut menjadi era perusahaan berlogo mata terbelalak itu. “Secara hitung-hitungan eksak memang belum pernah kami lakukan. Tapi di tahun itu, kami benar-benar mengalami kenaikan yang signifikan untuk jumlah kaos yang terjual,” kata pria bertubuh gempal ini.Lalu bagaimana dengan yang sekarang terjadi ketika bisnis serupa sudah mulai marak, sementara nama Dagadu telah berkibar sampai menjadi ikon kota Jogja?
“Yang kami lakukan adalah dengan lebih membuat profesional, efektif, dan efisien kerja kita,” katanya. Bagaimanapun juga, tambahnya, Dagadu selama ini telah menjadi sandaran hidup bagi puluhan karyawan dan kebanggaan Kota Budaya. Resep yang kini ditempuh yaitu dengan mengefektifkan bagian-bagian promosi dan pemasaran. Sementara itu, desain menjadi bagian utama yang harus diberi ruang gerak untuk memberikan dukungan terhadap proses kreatif.
“Bagaimanapun, desainer menjadi komponen penting untuk membuka warna baru Dagadu,” tambahnya.
Tulisan dikutip dari www.kabare.jogja.com
No comments:
Post a Comment